Banjir telah melakukan "kudeta" di ibukota. Akibatnya
berbagai aktivitas Jakarta dan sekitarnya menjadi lumpuh total. Pemerintah
tidak berdaya dan hanya bisa mengharapkan kesabaran dan ketabahan rakyat dalam
menghadapi bencana banjir. Bencana banjir selain diakibatkan oleh faktor cuaca
yang ekstrem juga disebabkan oleh rusaknya ekosistem DAS (Daerah Aliran
Sungai). Bangsa ini sudah dilanda
collective ignorance dan kehilangan kearifan dalam mengelola DAS. Berbagai
undang-undang dan peraturan tentang lingkungan hanya menjadi macan kertas yang
tidak pernah dijalankan secara konsisten. Penegakan hukum lingkungan yang
antara lain mengenai ketentuan tentang sempadan sungai banyak dilanggar.
Wilayah Jakarta yang
dibelah oleh 14 sungai sudah seharusnya membutuhkan manajemen pengelolaan DAS
yang konsisten dan berkelanjutan. Rencana untuk membangun megaproyek kanalisasi
untuk mencegah banjir belum tentu berhasil membebaskan Jakarta dari sergapan
banjir jika masalah sempadan sungai tidak ditanganai secara tuntas. Begitupun,
banjir juga tidak bisa ditangani secara parsial di wilayah Jakarta saja, tetapi
harus menyangkut sepanjang DAS yang melewati propinsi Jawa Barat dan Banten.
Karena kehancuran
ekosistem DAS juga terjadi di daerah hulu. Hampir seluruh DAS yang ada di
propinsi Jawa Barat dan Banten dalam kondisi kritis, terutama DAS Citarum,
Ciliwung. dan Cisadane. Egoisme sektor kedaerahan dan buruknya koordinasi
wilayah menambah parah situasi.
Untuk itulah konsep
Megapolitan yang bermaksud memperluas koordinasi teknis dan integrasi kebijakan
pembangunan penyangga ibu kota sebaiknya segera diwujudkan dengan titik berat
kepada aspek lingkungan hidup. Ketidakberdayaan propinsi Jawa Barat dan Banten
untuk menghentikan laju deforestasi di wilayahnya akan berdampak lebih buruk
lagi di waktu mendatang.
Sempadan Sungai
Dibutuhkan tindakan
tegas tanpa pandang bulu untuk melindungi dan membenahi zona sempadan sungai.
Sempadan sungai merupakan kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai
buatan, kanal, saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Perlindungan terhadap sempadan sungai
dilakukan untuk melindungi dari kegiatan yang dapat mengganggu dan merusak
kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan
aliran sungai.
Kriteria sempadan sungai
terdiri dari: (a) Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri-kanan sungai besar dan
50 meter di kiri- kanan anak sungai yang berada di luar pemukiman. Sesuai
dengan PP No 35 Tahun 1991 tentang Sungai. (b) Untuk sungai di kawasan
pemukiman lebar sempadan sungai seharusnya cukup untuk membangun jalan inspeksi
yaitu antara 10 sampai dengan 15 meter. Sesuai dengan PP No 35 Tahun1991.
Selain penegakan hukum
yang lemah, kerusakan sempadan sungai juga disebabkan oleh aspek land tenure
(penguasaan lahan). Aspek tersebut banyak melanggar Amdal untuk kegiatan
pembangunan di daerah lahan basah. Akibat lemahnya penegakan hukum terjadilah
kerusakan fungsi ekologis lahan basah yang berdampak erosi genetik dan
penurunan potensi.
Ada beberapa hal penting
yang perlu diingat sehubungan dengan ekosistem lahan basah. Antara lain,
Ekosistem lahan basah sesungguhnya memiliki potensi alami yang sangat peka
terhadap setiap sentuhan pembangunan yang merubah pengaruh perilaku air (hujan,
air sungai, dan air laut) pada bentang lahan itu. Ekosistem lahan basah
bersifat terbuka untuk menerima dan meneruskan setiap material (slurry ) yang
terbawa sebagai kandungan air, baik yang bersifat hara mineral, zat atau bahan
beracun maupun energi lainnya, sehingga membahayakan.
Ekosistem lahan basah
sesungguhnya berperan penting dalam mengatur keseimbangan hidup setiap
ekosistem darat di hulu dan sekitarnya serta setiap ekosistem kelautan di
hilirnya. Kerusakan DAS selama ini kurang ditangani secara serius. Hanya
dibenahi ala kadarnya saja, seperti dalam bentuk proyek pengerukan yang menelan
dana milyaran rupiah.
Proyek semacam itu
kurang efektif untuk menanggulangi bencana banjir atau kekeringan jika tidak
disertai dengan reklamasi total jalur sempadan sungai yang disertai dengan
gerakan budaya dan terapi psikososial. Banjir merupakan hukum karma akibat
lemahnya penegakan hukum lingkungan.
Zonasi Lahan Basah
Padahal, banjir di ibu
kota yang sudah menjadi tradisi itu mestinya bisa ditanggulangi secara teknis
geologis dan reklamasi lingkungan yang disertai dengan gerakan budaya mengelola
DAS secara arif. Namun, secara telanjang rakyat sering disuguhi oleh
inkonsistensi pemerintah dalam mengelola lingkungan hidup.
Saat ini pemerintah
boleh dibilang telah gagal menyeimbangkan keberadaan lahan basah untuk tetap
terjaga dan tidak dialihkan fungsinya guna mengurangi bencana banjir dan tanah
longsor. Zonasi terhadap Kepmeneg Lingkungan Hidup tentang lahan basah
seharusnya diterapkan secara kon sisten. Zonasi itu diterapkan berdasarkan
kekuatan air sungai dan air pasang.
Ekosistem lahan basah
sesungguhnya memiliki potensi alami yang sangat peka terhadap setiap sentuhan
pembangunan yang merubah pengaruh perilaku air (hujan, air sungai, dan air
laut) pada bentang lahan itu. Untuk itulah kewajiban pemerintah untuk
mendefinisikan secara tegas dan tanpa pandang bulu tentang zonasi yang ideal
dari lahan basah. Secara teori ekologis, kawasan yang harus dijaga dan
dipertahankan fungsinya meliputi:
Kawasan Resapan Air,
yaitu daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan
sehingga merupakan akifer (tempat pengisian air bumi) yang berguna sebagai
sumber air. Perlindungan terhadap kawasan resapan air dilakukan untuk
memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu untuk
keperluan penyediaan kebutuhan kawasan yang bersangkutan.
Kriteria kawasan resapan
air adalah curah hujan yang tinggi, struktur tanah yang mudah meresapkan air
dan bentuk geomorfologi yang mampu mere-sapkan air hujan secara besar-besaran.
Sempadan Sungai, yaitu kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai
buatan, kanal, saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Perlindungan terhadap sempadan sungai
dilakukan untuk melindungi dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan
merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta
mengamankan aliran sungai.
Sempadan Pantai, adalah
kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan dan melindungi kelestarian fungsi pantai dari gangguan berbagai
kegiatan dan proses alam. Kawasan Sekitar Danau atau Waduk, adalah kawasan
tertentu di sekeliling danau atau waduk yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsinya. Kawasan Pantai Berhutan Bakau, yaitu
kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang
berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan.
Penulis adalah Pemerhati
Psikososial dan Kebijakan Lingkungan Hidup.
Kesimpulan
Pemerintah tidak berdaya dan hanya bisa mengharapkan kesabaran dan
ketabajan rakyat dalam menghadapin bencana banjir. Selain di akibatkan
oleh faktor cuaca yg ekstrim juga di sebabkan oleh rusaknya ekosistem
DAS (daerah aliran sungai). Jadi agar terbebas dari banjir, maka kita
patut harus menjaga&membersihkan daerah aliran sungai.
Conservation of
Natural Resources: Water Resources
Air
sebagai sumberdaya alam dapat berupa persediaan dan sekaligus sebagai aliran.
Air tanah misalnya merupakan persediaan, yang biasanya memerlukan aliran dan
pengisian kembali oleh air hujan. Salah satu sifat penting air ialah stokastik,
artinya ia diatur oleh proses fisik yang berdistribusi kemungkinan (ranttom).
Sumberdaya air bervariasi secara luas dari daerah ke daerah. Pemasokan air
tergantung pada topografi dan kondisi meteorologi, karena mereka mempengaruhi
peresapan dan penguapan air. Oleh karena sifat stokastik air ini, maka
pengambilan keputusan dalam mengembangkan sumberdaya air, didasarkan atas
distribusi kemungkinan. Proyek pengembangan air, bermaksud untuk
memodifikasikan atau mentransformasikan distribusi kemungkinan aliran air ini
ke dalam pohyang lebih bermanfaat bagi kebutuhan manusia.
Ekonomi
sumberdaya air, adalah suatu studi tentang proses bagaimana manusia mengambil
keputusan, sehingga sumberdaya air yang langka dapat dimanfaatkan secara
optimal. Persediaan dan biaya-biaya untuk mengeksploitasi sumberdaya air akan
mempengaruhi ekonomi makro suatu negara. Keseimbangan perdagangan misalnya,
ikut dipengaruhi oleh sumber daya air terutama untuk ekspor hasil-hasil
pertanian. Suatu
pertanyaan dapat diajukan, apakah ekonomi sumberdaya alam (khususnya air)
termasuk di dalam “ekonomi positif” yakni ilmu ekonomi yang menjelaskan
bagaimana sesuatu itu terjadi how
thing actually happen. Atau apakah ia termasuk ilmu “ekonomi normatif”
yakni bagaimana sesuatu itu seharusnya terjadi to design how thing should be.
Pengembangan sumberdaya air meliputi
pengawasan aliran air, sehingga pola pemasokan air memenuhi pola permintaan di
seluruh ruang dan waktu. Sebagaimana diketahui penanganan sumberdaya air
biasanya dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu pengembangan dan
manajemennya meliputi beberapa tujuan nasional yakni: efsiensi ekonomi,
pengawasan kualitas lingkungan, distribusi pendapatan antar daerah, dan mungkin
juga untuk tujuan-tujuan khusus seperti, menyelamatkan sekelompok masyarakat
tertentu yang bermukim di suatu daerah. Pemanfaatan sumberdaya air
terutama ditujukan untuk memasok keperluan kota, irigasi, pembangkit tenaga
listrik pengawasan banjir, rekreasi, pengawasan pencemaran, pelayaran,
perikanan, dan untuk konservasi binatang di hutan. Mengingat pentingnya
pemanfaatan sumberdaya air ini secara optimal, maka pertimbangan untuk
penggunaan ganda harus dilakukan, meskipun dengan proyek yang sekecil mungkin.
Ancaman
Krisis Air di Indonesia
Indonesia dengan luas daratan sekitar 1.918.410 km’
memiliki curah hujan rata-rata sebesar 2.620 mm setahun. Setelah memperhatikan
kehilangan dan penguapan, maka limpahan efektif yang tersedia sekitar 55 persen
dari itu yakni sekitar 1.450 mm. Atas dasar data ini dan dikaitkan dengan
jumlah penduduk Indonesia dalam tahun 1990 sebanyak 179.194.223 maka potensi
air per jiwa per tahun ada sekitar 15.523 m3 (angka ini didapat dari
perhitungan sebagai berikut: 1.918.410 km’ x 1.450 mm/179.194.223). Karena
aliran sungai berfluktuasi sepanjang tahun, maka aliran mantap (stable run-off) adalah sekitar 25 –
35 persen dari rerata aliran setahun. Dengan demikian untuk Indonesia aliran mantapnya
tersedia sebesar 3.880 m3 per jiwa per tahun. Untuk pulau
Jawa dengan memperhatikan luas dataran sekitar 132.200 km2, curah hujan efektif
1.200 mm setahun, sedangkan dalam tahun 1990 jumlah penduduk sekitar
107.517.963, maka potensi air per jiwa per tahun tersedia adalah 1.475 m3.
Aliran mantap air tersedia sekitar 368,75 m3 per jiwa per tahun. Tahun
1970 potensi air per jiwa per tahun di Jawa sekitar 200 m (Doelhamid, 1972).
Dengan memperhitungkan aliran mantapnya, maka dalam tahun 1970 tersedia sekitar
500 m3 air per jiwa per tahun. Dengan demikian setelah 20 tahun terdapat
penurunan aliran mantap sekitar 26,4 persen. Perubahan tersebut merupakan suatu
penurunan yang cukup drastis.
Kebutuhan
akan air bersih terutama di kota-kota terus meningkat. Sebagai contoh dalam
tahun 1970 apabila diasumsikan kebutuhan orang akan air bersih di kota sebanyak
150 liter/hari/orang (Ditjen Cipta Karya, L Dep. P.U. 1980), maka dibutuhkan
air bersih dari 17.884500 m3 per hari pada tahun 1970, naik menjadi 26.879.180
m3per hari dalam tahun 1990 Ini berarti selama 20 tahun ini kebutuhan akan air
bersih naik sekitar 50 persen. Peningkatan kebutuhan ini akan tampak lebih
gawat lagi apabila dilihat kemampuan produksi PAM (Perusahaan Air Minum) dalam
melayani kebutuhan air bersih amat terbatas. Untuk
DKI Jakarta kapasitas produksi air bersih di tahun 1987 hanya sekitar 17.285
1/detik. Dengan produksi itu DKI Jakarta paling banyak hanya mampu melayani
sekitar 30-40 persen penduduk Jakarta yang ada sekarang yakni sekitar delapan
juta jiwa lebih. Apabila dimasukkan juga kebutuhan air bersih bagi hotel,
perkantoran, industri, rumah sakit, pertamanan, rumah-rumah ibadat dan
sebagainya, maka ancaman akan defisit air di dalam kota betul-betul meresahkan. Hasil analisis statistik
air minum yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik 1987 menunjukkan bahwa
kuantitas penyediaan air bersih terus meningkat dari tahun ketahun. Meskipun
demikian masib belum cukup untuk memasok kebutuhan penduduk kota, terutama di
kota-kota besar sebagai akibat laju urbanisasi dan aktivitas ekonomi yang
meningkat.
Kemampuan
untuk menyediakan kebutuhan air bersih yang cukup, terlebih-lebih untuk
keperluan kota, dibatasi oleh kendala alam dan dana. Masalah yang muncul banyak
terletak pada bagaimana manajemen sumberdaya air harus dioptimalkan dengan
terbatasnya segala sumberdaya yang ada. Erat
kaitannya dengan itu masalah yang sering muncul ialah distribusi kuantitas,
kualitas dan modus pemakaian yang sangat bervariasi dari suatu lokasi ke lokasi
lainnya. Dengan demikian sering terjadi di suatu lokasi terdapat kelebihan air,
sedang di tempat lain menderita kekurangan air.
Bahan
Baku Produksi Air Bersih
Penanganan air minum/air bersih di kota-kota di Indonesia
dilakukan oleh pemerintah (PAM). Bahan baku produksi air minum/air bersih
berasal dari air tanah termasuk air sumber dan air permukaan (sungai, dan
danau).
Antara tahun 1978-1984 penggunaan air tanah sekitar 52
persen sebagai bahan baku air PAM. Angka ini jauh di atas pemakaian sungai yang
hanya 23 persen digunakan sebagai sumber bahan baku. Sementara itu penduduk
yang menggunakan sumur didapat dari air tanah menghadapi beberapa aspek
negatif. Air sumur mudah tercemar dan pemilikan tanah yang sempit di kota
menyebabkan jarak ideal antara sumur dan sumur peresap minimal 15 m sulit
dipenuhi. Selain itu pengggunaan sumur yang berlebihan akan mengganggu
stabilitas tanah. Sejak tahun 1984 pemakaian air sungai oleh PAM sebagai bahan
baku air bersih mengalami kenaikan tajam dari 28 unit pada tahun 1978 menjadi
100 unit pada tahun 1984, dan terus meningkat sampai tahun 1990. Apabila
dilihat kecenderungan pemakaian, maka air sungai menunjukkan kenaikan yang
lebih tajam dari pada kecenderungan pemakaian air tanah (mata air) sebagai
bahan baku PAM.
Sungai
sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan minum, mandi/cuci juga mempunyai
masalah yang berkaitan dengan sungai sebagai tempat pembuangan limbah industri.
Konflik kepentingan antara para pemakai sungai akan muncul dimana-mana, dan
mudah menjadi isu politik (ingat kasus fungsi hidrologis kawasan Puncak; Kasus
Ciliwung dan Cisadane di DKI Jakarta, sungai Garang di Semarang dan sungai
Brantas di Surabaya ).
Mengingat
kecenderungan penggunaan air sungai sebagai bahan baku air PAM tampak naik
dengan tajam setelah tahun 1984, maka pemerintah harus mengambil langkah
pengamanan terhadap sungai sebagai sumber air PAM agar tidak tercemar. Dalam
jangka pendek pencemaran membawa dampak negatif terhadap biaya produksi air
bersih, dan dalam jangka panjang akan mengakibatkan penurunan produktivitas
kerja penduduk akibat terkontaminasi dengan air yang tercemar. Cukup banyak bukti menunjukkan
adanya pencemaran sungai di kota-kota besar di Indonesia sehingga perlu
ditanggulangi segera seperti kasus sungai Ciliwung di Jakarta, sungai Garang di
Semarang, sungai Brantas di Surabaya dan beberapa sungai tertentu di luar Jawa.
Pengendalian sumberdaya air meliputi
kuantitas dan kualitas. Kualitas air merupakan salah satu aspek yang makin
banyak mendapat perhatian dalam pengelolaan sumberdaya air. Ini disebabkan
karena para konsumen air tidak hanya menginginkan jumlah yang cukup, tetapi
juga kualitas yang sesuai dengan keperluan mereka.
Timbulnya
masalah kualitas air di cekungan (basin) sungai antara lain disebabkan oleh:
(a) Meningkatnya kandungan sedimen dalam air sungai, karena terjadinya erosi di
daerah hulu sungai. (b)Sistem pembuangan air limbah industri di sepanjang
sungai sehingga terjadi pencemaran. (c) Limbah rumah tangga yang ikut
mempengaruhi kualitas air. (d) Akibat negatif intensifikasi pertanian
(pestisida). Langkah-langkah untuk
mempertahankan kualitas air bukan saja untuk mencapai standar kualitas air yang
dikehendaki dari sudut ekologi, tetapi juga harus memperhatikan pertimbangan
ekonomi, misalnya sampai seberapa besar biaya untuk mencapai standar tersebut.
Langkah-langkah untuk mempertahankan kualitas air, tanpa mengganggu pertumbuhan
ekonomi, biasanya memakan biaya yang besar. Akan
tetapi apabila pertimbangan untuk mendapatkan strategi biaya yang efsien
dilakukan, tentu akan menjadi lebih baik. Untuk itu adalah logis
penelitian/pemantauan mengenai strategi tersebut perlu dilakukan. Pertumbuhan
industri yang semakin meningkat dan peningkatan intensifikasi pertanian dengan
pemakaian lebih banyak pestisida, ditambah lagi dengan berkembangnya penduduk
kota, akan memberi pengaruh buruk kepada tingkat pencemaran air.
Usaha mencegah pencemaran air sebagai baian dari
penyediaan air bersih secara efisien perlu dilakukan. Dari sekarang perlu
diambil langkah-langkah untuk menyelamatkan air baik untuk generasi sekarang
maupun bagi generasi di masa depan. Langkah-langkah tersebut sebaiknya
dilakukan melalui berbagai pendekatan dan analisis, termasuk analisis ekonomi.
Pengembangan
sumberdaya air memainkan peranan yang kompleks dalam proses pengambilan
keputusan. Tidak saja efisiensi ekonomi yang harus diperhatikan, tetapi juga
pembangunan regional, kualitas lingkungan, distribusi manfaat dan biaya, serta
lain-lain dimensi kesejahteraan manusia dijadikan tujuan yang eksplisit, yang harus
dicapai oleh pengambil keputusan. Oleh karena itu informasi yang lengkap dengan
analisis yang tajam dan terpadu perlu disampaikan kepada para pengambil
keputusan.
Pendekatan Antar Disiplin untuk Perencanaan
dan Manajemen Sumberdaya Air
Pada mulanya masalah manajemen sumberdaya air dan
lingkungan tidaklah terlalu kompleks. Ini disebabkan karena penduduk masih
relatif sedikit dan kuantitas air berlimpah. Keadaan berubah dengan cepat
setelah adanya perkembangan industri. Para pekerja dari sektor pertanian
tertarik untuk berpindah ke sektor industri, karena sektor pertanian telah
jenuh. Dengan demikian migrasi dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan mulai
terjadi dan kecenderungan ini terus meningkat dari waktu ke waktu. Dengan
berkembangnya industri di daerah kota, migrasi dari daerah pedesaan terus
bertambah dan ini akan merangsang terus pertumbuhan industri. Dengan demikian
antara migrasi dan pertumbuhan industri di kota merupakan lingkaran setan.
Sangat disayangkan industri-industri ini kebanyakan didirikan berdekatan dengan
daerah aliran sungai, dengan tujuan untuk memudahkan membuang limbah produksi
tanpa biaya ekonomi. Disamping itu limbah rumah tangga ikut juga dibuang ke
sungai tanpa adanya pengolahan terlebih dahulu, sehingga menambah beban polusi pada
air di aliran sungai. Oleh karena bertambahnya penduduk, demikian juga dengan
meningkatnya pemakaian air per kapita, serta perkembangan teknologi dan
industri, maka sisa produk atau limbah ikut bertambah tekanannya terhadap
lingkungan. Bersamaan dengan itu masyarakat juga memuntut adanya kualitas hidup
dan lingkungan yang baik. Dengan memperhatikan semua jenis sikap masyarakat
ini, maka pengembangan sumberdaya air dan proses manajemennya menjadi lebih
kompleks dari pada sebelumnya.
Proses
perencanaan sumberdaya air menjadi sangat kompleks sekarang ini dan akan
bertambah lagi dimasa depan, oleh karena itu para perencana dan pengambil
keputusan harus melengkapi diri dengan beberapa konsep dan alat analisis baru
yang muncul beberapa dekade terakhir. Salah satu dari alat baru itu ialah
analisis sistem, sebagai suatu alat untuk memecahkan masalah dengan pendekatan
antar disiplin. Berikut ini disajikan teknik-teknik yang berhubungan dengan
pendekatan antar disiplin.
Analisis
Sistem
Analisis sistem dapat didefinisikan sebagai suatu studi
analitik untuk membantu pengambil keputusan memilih tindakan yang lebih disukai
diantara beberapa alternatif yang ada. Ia merupakan pendekatan yang logik dan
sistematik dimana asumsi, tujuan, dan kriteria, secara jelas didefinisikan. Ia
dapat membantu pengambil keputusan sampai pada keputusan yang terbaik dengan
cara memperluas dasar informasinya.
Menerapkan
analisis sistem pada manajemen sumberdaya air, umumnya dilakukan tahap-tahap
sebagai berikut:
·Identifikasi dan pernyataan secara eksplisit
tujuan yang ingin dicapai.
·Penerjemahan tujuan itu ke dalam kriteria
yang dapat diukur, sehingga dapat digunakan untuk menilai sampai berapa jauh tujuan
itu dapat dicapai.
·Identifikasi beberapa alternatif cara yang
akan memenuhi kriteria dimaksud. Ini berarti dibuat suatu model sistem
sumberdaya air yang akan menguji dan menilai alternatif yang ada.
·Penentuan konsekwensi yang timbul dari
masing-masing alternatif yang ada.
·Perbandingan penilaian alternatif konsekwensi
yang ada dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Kesimpulan
Pengembangan
dan manajemen sumberdaya air meliputi beberapa tujuan nasional yakni:
efisiensi ekonomi, pengendalian kualitas lingkungan, distribusi pendapatan
antar daerah, serta untuk memenuhi tujuan-tujuan khusus lainnya termasuk
menyelamatkan sekelompok masyarakat tertentu yang bermukim di suatu
daerah.
Selama
duapuluh tahun terakhir ini, Indonesia telah mengalami penurunan aliran
mantap air sebanyak 26,4 persen, suatu penurunan yang cukup drastis.
Dilain pihak, dalam kurun waktu yang sama kebutuhan akan air bersih naik
sekitar 50 persen. Oleh karena itu pengendalian air permukaan menjadi
semakin penting.
Pengendalian
sumberdaya air meliputi kuantitas dan kualitas. Timbulnya masalah kualitas
air di basin sungai bagi beberapa sungai Indonesia antara lain disebabkan
karena: terjadinya erosi di daerah hulu sungai; sistem pembuangan limbah
industri di sepanjang sungai sehingga terjadi pencemaran; limbah rumah
tangga yang ikut mempengaruhi kualitas air; akibat negatif intensifikasi
pertanian yakni pemakaian obat anti hama (pestisida).
Proses
perencanaan sumberdaya air menjadi sangat kompleks sekarang ini, dan akan
bertambah lagi dimasa depan, oleh karena itu para perencana dan pengambil
keputusan harus melengkapi diri dengan beberapa konsep dan alat analisis
yang baru muncul beberapa dekade terakhir. Salah satu alat baru itu ialah
analisis sistem yang dapat dipakai untuk memecahkan masalah dengan,
pendekatan antar disiplin.
Penerapan
analisis sistem berupa pembentukan model programasi linier untuk menangani
masalah pencemaran air di basin kali Garang di Jawa Tengah telah berhasil
dilakukan (1983). Pengoperasian model ini untuk kasus sungai Garang dan
sungai-sungai lain yang kondisinya sama, sangat mungkin dilakukan.
Sumber:DPMA, Bandung.
(1978). “Laporan penyelidikan pencemaran air Kali Garang, Semarang” (Report of
investigation into water pollution in the Garang River, District of Semarang) Doclhamid, (1972). Planning
and Programing the Development of Indonesia’s Water Researches. Fair,
G.M, J.C. Gcyer, & D.A. Okun, (1968). Water and Wastewater
Engineering, New York: John Wiley and Sons. Frankel,
R.J., (1965). “Cost/quality relationships in and engineering economic
model for municipal waste disposal, “Water Resources Research, Vo. 1,
1973-186. Grag,
S.K,(1979). Sewage and Waste Disposal Engineering, Delhi:Khanna
Publishers. Johnson,
Edwin L (1967). “A study in the economics of water quality management, “Water
Resources Research, Vol. 3, No. 2. Lohani
& Thanh, (1978). “Water quality management in the Hsintien River in
Taiwan, “Water Resources Bulletin, Vol. 14, No. 3. Owens,
M. et.al., (1964).
“Some reaeration studies in streams,”Journal of Air and Water Pollution,
Vol. 8, 218-230. PPLH,
Jakarta, (1980). “Invetarisasi dan evaluasi kualitas lingkungan hidup,
kualitas air” (inventory and evaluation of environment quality: water quality).
Reid,George
W., (1982). Appropriate Methods of Treating Water and Was in
Developing Countries, Ann Arbor, Michigan: Ann Arcor Science Publishers. Russel,
Clifford S & Walter O. Spofford, (1977). “A regional environ mental
quality management model: an assessment, “Journal Environmental Economics
and Management, Vo. 4,80-110. Wan,
Usman. (1983). Analisis Ekonomi Untuk Manajemen Kualitas Air: Studi
kasus untuk cekungan sungai Garang, Jawa Tengah. (desertasi Doktor). Tidak
dipublikasikan. World
Health Organization, (1982). Rapid Assesment of Sources of Air Water, and Land
Pollution, WHO offset publication No.62.