Kamis, 30 Oktober 2014

Ekologi

BANJIR AKIBAT RUSAKNYA DAS

           Banjir telah melakukan "kudeta" di ibukota. Akibatnya berbagai aktivitas Jakarta dan sekitarnya menjadi lumpuh total. Pemerintah tidak berdaya dan hanya bisa mengharapkan kesabaran dan ketabahan rakyat dalam menghadapi bencana banjir. Bencana banjir selain diakibatkan oleh faktor cuaca yang ekstrem juga disebabkan oleh rusaknya ekosistem DAS (Daerah Aliran Sungai). 
          Bangsa ini sudah dilanda collective ignorance dan kehilangan kearifan dalam mengelola DAS. Berbagai undang-undang dan peraturan tentang lingkungan hanya menjadi macan kertas yang tidak pernah dijalankan secara konsisten. Penegakan hukum lingkungan yang antara lain mengenai ketentuan tentang sempadan sungai banyak dilanggar.
     Wilayah Jakarta yang dibelah oleh 14 sungai sudah seharusnya membutuhkan manajemen pengelolaan DAS yang konsisten dan berkelanjutan. Rencana untuk membangun megaproyek kanalisasi untuk mencegah banjir belum tentu berhasil membebaskan Jakarta dari sergapan banjir jika masalah sempadan sungai tidak ditanganai secara tuntas. Begitupun, banjir juga tidak bisa ditangani secara parsial di wilayah Jakarta saja, tetapi harus menyangkut sepanjang DAS yang melewati propinsi Jawa Barat dan Banten.
        Karena kehancuran ekosistem DAS juga terjadi di daerah hulu. Hampir seluruh DAS yang ada di propinsi Jawa Barat dan Banten dalam kondisi kritis, terutama DAS Citarum, Ciliwung. dan Cisadane. Egoisme sektor kedaerahan dan buruknya koordinasi wilayah menambah parah situasi.
        Untuk itulah konsep Megapolitan yang bermaksud memperluas koordinasi teknis dan integrasi kebijakan pembangunan penyangga ibu kota sebaiknya segera diwujudkan dengan titik berat kepada aspek lingkungan hidup. Ketidakberdayaan propinsi Jawa Barat dan Banten untuk menghentikan laju deforestasi di wilayahnya akan berdampak lebih buruk lagi di waktu mendatang.

Sempadan Sungai 

       Dibutuhkan tindakan tegas tanpa pandang bulu untuk melindungi dan membenahi zona sempadan sungai. Sempadan sungai merupakan kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan, kanal, saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi dari kegiatan yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai.
           Kriteria sempadan sungai terdiri dari: (a) Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri-kanan sungai besar dan 50 meter di kiri- kanan anak sungai yang berada di luar pemukiman. Sesuai dengan PP No 35 Tahun 1991 tentang Sungai. (b) Untuk sungai di kawasan pemukiman lebar sempadan sungai seharusnya cukup untuk membangun jalan inspeksi yaitu antara 10 sampai dengan 15 meter. Sesuai dengan PP No 35 Tahun1991.
         Selain penegakan hukum yang lemah, kerusakan sempadan sungai juga disebabkan oleh aspek land tenure (penguasaan lahan). Aspek tersebut banyak melanggar Amdal untuk kegiatan pembangunan di daerah lahan basah. Akibat lemahnya penegakan hukum terjadilah kerusakan fungsi ekologis lahan basah yang berdampak erosi genetik dan penurunan potensi.
         Ada beberapa hal penting yang perlu diingat sehubungan dengan ekosistem lahan basah. Antara lain, Ekosistem lahan basah sesungguhnya memiliki potensi alami yang sangat peka terhadap setiap sentuhan pembangunan yang merubah pengaruh perilaku air (hujan, air sungai, dan air laut) pada bentang lahan itu. Ekosistem lahan basah bersifat terbuka untuk menerima dan meneruskan setiap material (slurry ) yang terbawa sebagai kandungan air, baik yang bersifat hara mineral, zat atau bahan beracun maupun energi lainnya, sehingga membahayakan.
     Ekosistem lahan basah sesungguhnya berperan penting dalam mengatur keseimbangan hidup setiap ekosistem darat di hulu dan sekitarnya serta setiap ekosistem kelautan di hilirnya. Kerusakan DAS selama ini kurang ditangani secara serius. Hanya dibenahi ala kadarnya saja, seperti dalam bentuk proyek pengerukan yang menelan dana milyaran rupiah.
     Proyek semacam itu kurang efektif untuk menanggulangi bencana banjir atau kekeringan jika tidak disertai dengan reklamasi total jalur sempadan sungai yang disertai dengan gerakan budaya dan terapi psikososial. Banjir merupakan hukum karma akibat lemahnya penegakan hukum lingkungan.
Zonasi Lahan Basah
     Padahal, banjir di ibu kota yang sudah menjadi tradisi itu mestinya bisa ditanggulangi secara teknis geologis dan reklamasi lingkungan yang disertai dengan gerakan budaya mengelola DAS secara arif. Namun, secara telanjang rakyat sering disuguhi oleh inkonsistensi pemerintah dalam mengelola lingkungan hidup.
      Saat ini pemerintah boleh dibilang telah gagal menyeimbangkan keberadaan lahan basah untuk tetap terjaga dan tidak dialihkan fungsinya guna mengurangi bencana banjir dan tanah longsor. Zonasi terhadap Kepmeneg Lingkungan Hidup tentang lahan basah seharusnya diterapkan secara kon sisten. Zonasi itu diterapkan berdasarkan kekuatan air sungai dan air pasang.
      Ekosistem lahan basah sesungguhnya memiliki potensi alami yang sangat peka terhadap setiap sentuhan pembangunan yang merubah pengaruh perilaku air (hujan, air sungai, dan air laut) pada bentang lahan itu. Untuk itulah kewajiban pemerintah untuk mendefinisikan secara tegas dan tanpa pandang bulu tentang zonasi yang ideal dari lahan basah. Secara teori ekologis, kawasan yang harus dijaga dan dipertahankan fungsinya meliputi:
Kawasan Resapan Air, yaitu daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan akifer (tempat pengisian air bumi) yang berguna sebagai sumber air. Perlindungan terhadap kawasan resapan air dilakukan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu untuk keperluan penyediaan kebutuhan kawasan yang bersangkutan.
     Kriteria kawasan resapan air adalah curah hujan yang tinggi, struktur tanah yang mudah meresapkan air dan bentuk geomorfologi yang mampu mere-sapkan air hujan secara besar-besaran. Sempadan Sungai, yaitu kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan, kanal, saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai.
      Sempadan Pantai, adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan dan melindungi kelestarian fungsi pantai dari gangguan berbagai kegiatan dan proses alam. Kawasan Sekitar Danau atau Waduk, adalah kawasan tertentu di sekeliling danau atau waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsinya. Kawasan Pantai Berhutan Bakau, yaitu kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan.
Penulis adalah Pemerhati Psikososial dan Kebijakan Lingkungan Hidup.

Kesimpulan 

     Pemerintah tidak berdaya dan hanya bisa mengharapkan kesabaran dan ketabajan rakyat dalam menghadapin bencana banjir. Selain di akibatkan oleh faktor cuaca yg ekstrim juga di sebabkan oleh rusaknya ekosistem DAS (daerah aliran sungai). Jadi agar terbebas dari banjir, maka kita patut harus menjaga&membersihkan daerah aliran sungai. 

Sumber: http://psda.jatengprov.go.id/berita/2007/februari/060207-03.html

Natural Resources

Conservation of Natural Resources: Water Resources   
Air sebagai sumberdaya alam dapat berupa persediaan dan sekaligus sebagai aliran. Air tanah misalnya merupakan persediaan, yang biasanya memerlukan aliran dan pengisian kembali oleh air hujan. Salah satu sifat penting air ialah stokastik, artinya ia diatur oleh proses fisik yang berdistribusi kemungkinan (ranttom). Sumberdaya air bervariasi secara luas dari daerah ke daerah. Pemasokan air tergantung pada topografi dan kondisi meteorologi, karena mereka mempengaruhi peresapan dan penguapan air. Oleh karena sifat stokastik air ini, maka pengambilan keputusan dalam mengembangkan sumberdaya air, didasarkan atas distribusi kemungkinan. Proyek pengembangan air, bermaksud untuk memodifikasikan atau mentransformasikan distribusi kemungkinan aliran air ini ke dalam pohyang lebih bermanfaat bagi kebutuhan manusia.                                                                
 Ekonomi sumberdaya air, adalah suatu studi tentang proses bagaimana manusia mengambil keputusan, sehingga sumberdaya air yang langka dapat dimanfaatkan secara optimal. Persediaan dan biaya-biaya untuk mengeksploitasi sumberdaya air akan mempengaruhi ekonomi makro suatu negara. Keseimbangan perdagangan misalnya, ikut dipengaruhi oleh sumber daya air terutama untuk ekspor hasil-hasil pertanian. Suatu pertanyaan dapat diajukan, apakah ekonomi sumberdaya alam (khususnya air) termasuk di dalam “ekonomi positif” yakni ilmu ekonomi yang menjelaskan bagaimana sesuatu itu terjadi how thing actually happen. Atau apakah ia termasuk ilmu “ekonomi normatif” yakni bagaimana sesuatu itu seharusnya terjadi to design how thing should be.
Pengembangan sumberdaya air meliputi pengawasan aliran air, sehingga pola pemasokan air memenuhi pola permintaan di seluruh ruang dan waktu. Sebagaimana diketahui penanganan sumberdaya air biasanya dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu pengembangan dan manajemennya meliputi beberapa tujuan nasional yakni: efsiensi ekonomi, pengawasan kualitas lingkungan, distribusi pendapatan antar daerah, dan mungkin juga untuk tujuan-tujuan khusus seperti, menyelamatkan sekelompok masyarakat tertentu yang bermukim di suatu daerah. 
 Pemanfaatan sumberdaya air terutama ditujukan untuk memasok keperluan kota, irigasi, pembangkit tenaga listrik pengawasan banjir, rekreasi, pengawasan pencemaran, pelayaran, perikanan, dan untuk konservasi binatang di hutan. Mengingat pentingnya pemanfaatan sumberdaya air ini secara optimal, maka pertimbangan untuk penggunaan ganda harus dilakukan, meskipun dengan proyek yang sekecil mungkin. 

Ancaman Krisis Air di Indonesia 
Indonesia dengan luas daratan sekitar 1.918.410 km’ memiliki curah hujan rata-rata sebesar 2.620 mm setahun. Setelah memperhatikan kehilangan dan penguapan, maka limpahan efektif yang tersedia sekitar 55 persen dari itu yakni sekitar 1.450 mm. Atas dasar data ini dan dikaitkan dengan jumlah penduduk Indonesia dalam tahun 1990 sebanyak 179.194.223 maka potensi air per jiwa per tahun ada sekitar 15.523 m3 (angka ini didapat dari perhitungan sebagai berikut: 1.918.410 km’ x 1.450 mm/179.194.223). Karena aliran sungai berfluktuasi sepanjang tahun, maka aliran mantap (stable run-off) adalah sekitar 25 – 35 persen dari rerata aliran setahun. Dengan demikian untuk Indonesia aliran mantapnya tersedia sebesar 3.880 m3 per jiwa per tahun.                   
Untuk pulau Jawa dengan memperhatikan luas dataran sekitar 132.200 km2, curah hujan efektif 1.200 mm setahun, sedangkan dalam tahun 1990 jumlah penduduk sekitar 107.517.963, maka potensi air per jiwa per tahun tersedia adalah 1.475 m3. Aliran mantap air tersedia sekitar 368,75 m3 per jiwa per tahun.                              
Tahun 1970 potensi air per jiwa per tahun di Jawa sekitar 200 m (Doelhamid, 1972). Dengan memperhitungkan aliran mantapnya, maka dalam tahun 1970 tersedia sekitar 500 m3 air per jiwa per tahun. Dengan demikian setelah 20 tahun terdapat penurunan aliran mantap sekitar 26,4 persen. Perubahan tersebut merupakan suatu penurunan yang cukup drastis.    
Kebutuhan akan air bersih terutama di kota-kota terus meningkat. Sebagai contoh dalam tahun 1970 apabila diasumsikan kebutuhan orang akan air bersih di kota sebanyak 150 liter/hari/orang (Ditjen Cipta Karya, L Dep. P.U. 1980), maka dibutuhkan air bersih dari 17.884500 m3 per hari pada tahun 1970, naik menjadi 26.879.180 m3per hari dalam tahun 1990 Ini berarti selama 20 tahun ini kebutuhan akan air bersih naik sekitar 50 persen. Peningkatan kebutuhan ini akan tampak lebih gawat lagi apabila dilihat kemampuan produksi PAM (Perusahaan Air Minum) dalam melayani kebutuhan air bersih amat terbatas. Untuk DKI Jakarta kapasitas produksi air bersih di tahun 1987 hanya sekitar 17.285 1/detik. 
Dengan produksi itu DKI Jakarta paling banyak hanya mampu melayani sekitar 30-40 persen penduduk Jakarta yang ada sekarang yakni sekitar delapan juta jiwa lebih. Apabila dimasukkan juga kebutuhan air bersih bagi hotel, perkantoran, industri, rumah sakit, pertamanan, rumah-rumah ibadat dan sebagainya, maka ancaman akan defisit air di dalam kota betul-betul meresahkan. Hasil analisis statistik air minum yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik 1987 menunjukkan bahwa kuantitas penyediaan air bersih terus meningkat dari tahun ketahun. Meskipun demikian masib belum cukup untuk memasok kebutuhan penduduk kota, terutama di kota-kota besar sebagai akibat laju urbanisasi dan aktivitas ekonomi yang meningkat.   
 Kemampuan untuk menyediakan kebutuhan air bersih yang cukup, terlebih-lebih untuk keperluan kota, dibatasi oleh kendala alam dan dana. Masalah yang muncul banyak terletak pada bagaimana manajemen sumberdaya air harus dioptimalkan dengan terbatasnya segala sumberdaya yang ada. Erat kaitannya dengan itu masalah yang sering muncul ialah distribusi kuantitas, kualitas dan modus pemakaian yang sangat bervariasi dari suatu lokasi ke lokasi lainnya. Dengan demikian sering terjadi di suatu lokasi terdapat kelebihan air, sedang di tempat lain menderita kekurangan air. 

Bahan Baku Produksi Air Bersih 
Penanganan air minum/air bersih di kota-kota di Indonesia dilakukan oleh pemerintah (PAM). Bahan baku produksi air minum/air bersih berasal dari air tanah termasuk air sumber dan air permukaan (sungai, dan danau).
Antara tahun 1978-1984 penggunaan air tanah sekitar 52 persen sebagai bahan baku air PAM. Angka ini jauh di atas pemakaian sungai yang hanya 23 persen digunakan sebagai sumber bahan baku. Sementara itu penduduk yang menggunakan sumur didapat dari air tanah menghadapi beberapa aspek negatif. Air sumur mudah tercemar dan pemilikan tanah yang sempit di kota menyebabkan jarak ideal antara sumur dan sumur peresap minimal 15 m sulit dipenuhi. Selain itu pengggunaan sumur yang berlebihan akan mengganggu stabilitas tanah. Sejak tahun 1984 pemakaian air sungai oleh PAM sebagai bahan baku air bersih mengalami kenaikan tajam dari 28 unit pada tahun 1978 menjadi 100 unit pada tahun 1984, dan terus meningkat sampai tahun 1990. Apabila dilihat kecenderungan pemakaian, maka air sungai menunjukkan kenaikan yang lebih tajam dari pada kecenderungan pemakaian air tanah (mata air) sebagai bahan baku PAM.                       
 Sungai sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan minum, mandi/cuci juga mempunyai masalah yang berkaitan dengan sungai sebagai tempat pembuangan limbah industri. Konflik kepentingan antara para pemakai sungai akan muncul dimana-mana, dan mudah menjadi isu politik (ingat kasus fungsi hidrologis kawasan Puncak; Kasus Ciliwung dan Cisadane di DKI Jakarta, sungai Garang di Semarang dan sungai Brantas di Surabaya ).                
 Mengingat kecenderungan penggunaan air sungai sebagai bahan baku air PAM tampak naik dengan tajam setelah tahun 1984, maka pemerintah harus mengambil langkah pengamanan terhadap sungai sebagai sumber air PAM agar tidak tercemar. Dalam jangka pendek pencemaran membawa dampak negatif terhadap biaya produksi air bersih, dan dalam jangka panjang akan mengakibatkan penurunan produktivitas kerja penduduk akibat terkontaminasi dengan air yang tercemar.                Cukup banyak bukti menunjukkan adanya pencemaran sungai di kota-kota besar di Indonesia sehingga perlu ditanggulangi segera seperti kasus sungai Ciliwung di Jakarta, sungai Garang di Semarang, sungai Brantas di Surabaya dan beberapa sungai tertentu di luar Jawa.                  
Pengendalian sumberdaya air meliputi kuantitas dan kualitas. Kualitas air merupakan salah satu aspek yang makin banyak mendapat perhatian dalam pengelolaan sumberdaya air. Ini disebabkan karena para konsumen air tidak hanya menginginkan jumlah yang cukup, tetapi juga kualitas yang sesuai dengan keperluan mereka.        
Timbulnya masalah kualitas air di cekungan (basin) sungai antara lain disebabkan oleh: (a) Meningkatnya kandungan sedimen dalam air sungai, karena terjadinya erosi di daerah hulu sungai. (b)Sistem pembuangan air limbah industri di sepanjang sungai sehingga terjadi pencemaran. (c) Limbah rumah tangga yang ikut mempengaruhi kualitas air. (d) Akibat negatif intensifikasi pertanian (pestisida). Langkah-langkah untuk mempertahankan kualitas air bukan saja untuk mencapai standar kualitas air yang dikehendaki dari sudut ekologi, tetapi juga harus memperhatikan pertimbangan ekonomi, misalnya sampai seberapa besar biaya untuk mencapai standar tersebut. Langkah-langkah untuk mempertahankan kualitas air, tanpa mengganggu pertumbuhan ekonomi, biasanya memakan biaya yang besar.       
 Akan tetapi apabila pertimbangan untuk mendapatkan strategi biaya yang efsien dilakukan, tentu akan menjadi lebih baik. Untuk itu adalah logis penelitian/pemantauan mengenai strategi tersebut perlu dilakukan. Pertumbuhan industri yang semakin meningkat dan peningkatan intensifikasi pertanian dengan pemakaian lebih banyak pestisida, ditambah lagi dengan berkembangnya penduduk kota, akan memberi pengaruh buruk kepada tingkat pencemaran air.
Usaha mencegah pencemaran air sebagai baian dari penyediaan air bersih secara efisien perlu dilakukan. Dari sekarang perlu diambil langkah-langkah untuk menyelamatkan air baik untuk generasi sekarang maupun bagi generasi di masa depan. Langkah-langkah tersebut sebaiknya dilakukan melalui berbagai pendekatan dan analisis, termasuk analisis ekonomi.                               
 Pengembangan sumberdaya air memainkan peranan yang kompleks dalam proses pengambilan keputusan. Tidak saja efisiensi ekonomi yang harus diperhatikan, tetapi juga pembangunan regional, kualitas lingkungan, distribusi manfaat dan biaya, serta lain-lain dimensi kesejahteraan manusia dijadikan tujuan yang eksplisit, yang harus dicapai oleh pengambil keputusan. Oleh karena itu informasi yang lengkap dengan analisis yang tajam dan terpadu perlu disampaikan kepada para pengambil keputusan. 
 
Pendekatan Antar Disiplin untuk Perencanaan dan Manajemen Sumberdaya Air 
             Pada mulanya masalah manajemen sumberdaya air dan lingkungan tidaklah terlalu kompleks. Ini disebabkan karena penduduk masih relatif sedikit dan kuantitas air berlimpah. Keadaan berubah dengan cepat setelah adanya perkembangan industri. Para pekerja dari sektor pertanian tertarik untuk berpindah ke sektor industri, karena sektor pertanian telah jenuh. Dengan demikian migrasi dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan mulai terjadi dan kecenderungan ini terus meningkat dari waktu ke waktu. 
            Dengan berkembangnya industri di daerah kota, migrasi dari daerah pedesaan terus bertambah dan ini akan merangsang terus pertumbuhan industri. Dengan demikian antara migrasi dan pertumbuhan industri di kota merupakan lingkaran setan. Sangat disayangkan industri-industri ini kebanyakan didirikan berdekatan dengan daerah aliran sungai, dengan tujuan untuk memudahkan membuang limbah produksi tanpa biaya ekonomi. Disamping itu limbah rumah tangga ikut juga dibuang ke sungai tanpa adanya pengolahan terlebih dahulu, sehingga menambah beban polusi pada air di aliran sungai. 
             Oleh karena bertambahnya penduduk, demikian juga dengan meningkatnya pemakaian air per kapita, serta perkembangan teknologi dan industri, maka sisa produk atau limbah ikut bertambah tekanannya terhadap lingkungan. Bersamaan dengan itu masyarakat juga memuntut adanya kualitas hidup dan lingkungan yang baik. Dengan memperhatikan semua jenis sikap masyarakat ini, maka pengembangan sumberdaya air dan proses manajemennya menjadi lebih kompleks dari pada sebelumnya.                                                                           
          Proses perencanaan sumberdaya air menjadi sangat kompleks sekarang ini dan akan bertambah lagi dimasa depan, oleh karena itu para perencana dan pengambil keputusan harus melengkapi diri dengan beberapa konsep dan alat analisis baru yang muncul beberapa dekade terakhir. Salah satu dari alat baru itu ialah analisis sistem, sebagai suatu alat untuk memecahkan masalah dengan pendekatan antar disiplin. Berikut ini disajikan teknik-teknik yang berhubungan dengan pendekatan antar disiplin.  

Analisis Sistem 
Analisis sistem dapat didefinisikan sebagai suatu studi analitik untuk membantu pengambil keputusan memilih tindakan yang lebih disukai diantara beberapa alternatif yang ada. Ia merupakan pendekatan yang logik dan sistematik dimana asumsi, tujuan, dan kriteria, secara jelas didefinisikan. Ia dapat membantu pengambil keputusan sampai pada keputusan yang terbaik dengan cara memperluas dasar informasinya.
Menerapkan analisis sistem pada manajemen sumberdaya air, umumnya dilakukan tahap-tahap sebagai berikut:
·      Identifikasi dan pernyataan secara eksplisit tujuan yang ingin dicapai.
·      Penerjemahan tujuan itu ke dalam kriteria yang dapat diukur, sehingga dapat digunakan untuk menilai sampai berapa jauh tujuan itu dapat dicapai.
·      Identifikasi beberapa alternatif cara yang akan memenuhi kriteria dimaksud. Ini berarti dibuat suatu model sistem sumberdaya air yang akan menguji dan menilai alternatif yang ada.
·      Penentuan konsekwensi yang timbul dari masing-masing alternatif yang ada.
·      Perbandingan penilaian alternatif konsekwensi yang ada dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Kesimpulan
  1. Pengembangan dan manajemen sumberdaya air meliputi beberapa tujuan nasional yakni: efisiensi ekonomi, pengendalian kualitas lingkungan, distribusi pendapatan antar daerah, serta untuk memenuhi tujuan-tujuan khusus lainnya termasuk menyelamatkan sekelompok masyarakat tertentu yang bermukim di suatu daerah.
  2. Selama duapuluh tahun terakhir ini, Indonesia telah mengalami penurunan aliran mantap air sebanyak 26,4 persen, suatu penurunan yang cukup drastis. Dilain pihak, dalam kurun waktu yang sama kebutuhan akan air bersih naik sekitar 50 persen. Oleh karena itu pengendalian air permukaan menjadi semakin penting.
  3. Pengendalian sumberdaya air meliputi kuantitas dan kualitas. Timbulnya masalah kualitas air di basin sungai bagi beberapa sungai Indonesia antara lain disebabkan karena: terjadinya erosi di daerah hulu sungai; sistem pembuangan limbah industri di sepanjang sungai sehingga terjadi pencemaran; limbah rumah tangga yang ikut mempengaruhi kualitas air; akibat negatif intensifikasi pertanian yakni pemakaian obat anti hama (pestisida).
  4. Proses perencanaan sumberdaya air menjadi sangat kompleks sekarang ini, dan akan bertambah lagi dimasa depan, oleh karena itu para perencana dan pengambil keputusan harus melengkapi diri dengan beberapa konsep dan alat analisis yang baru muncul beberapa dekade terakhir. Salah satu alat baru itu ialah analisis sistem yang dapat dipakai untuk memecahkan masalah dengan, pendekatan antar disiplin.
  5. Penerapan analisis sistem berupa pembentukan model programasi linier untuk menangani masalah pencemaran air di basin kali Garang di Jawa Tengah telah berhasil dilakukan (1983). Pengoperasian model ini untuk kasus sungai Garang dan sungai-sungai lain yang kondisinya sama, sangat mungkin dilakukan.
Sumber: DPMA, Bandung. (1978). “Laporan penyelidikan pencemaran air Kali Garang, Semarang” (Report of investigation into water pollution in the Garang River, District of Semarang)
Doclhamid, (1972). Planning and Programing the Development of Indonesia’s Water Researches.
Fair, G.M, J.C. Gcyer, & D.A. Okun, (1968). Water and Wastewater Engineering, New York: John Wiley and Sons.
Frankel, R.J., (1965). “Cost/quality relationships in and engineering economic model for municipal waste disposal, “Water Resources Research, Vo. 1, 1973-186.
Grag, S.K,(1979). Sewage and Waste Disposal Engineering, Delhi:Khanna Publishers.
Johnson, Edwin L (1967). “A study in the economics of water quality management, “Water Resources Research, Vol. 3, No. 2.
Lohani & Thanh, (1978). “Water quality management in the Hsintien River in Taiwan, “Water Resources Bulletin, Vol. 14, No. 3.
Owens, M. et.al., (1964). “Some reaeration studies in streams,”Journal of Air and Water Pollution, Vol. 8, 218-230.
PPLH, Jakarta, (1980). “Invetarisasi dan evaluasi kualitas lingkungan hidup, kualitas air” (inventory and evaluation of environment quality: water quality).
Reid,George W., (1982). Appropriate Methods of Treating Water and Was in Developing Countries, Ann Arbor, Michigan: Ann Arcor Science Publishers.
Russel, Clifford S & Walter O. Spofford, (1977). “A regional environ mental quality management model: an assessment, “Journal Environmental Economics and Management, Vo. 4,80-110.
Wan, Usman. (1983). Analisis Ekonomi Untuk Manajemen Kualitas Air: Studi kasus untuk cekungan sungai Garang, Jawa Tengah. (desertasi Doktor). Tidak dipublikasikan.
World Health Organization, (1982). Rapid Assesment of Sources of Air Water, and Land Pollution, WHO offset publication No.62.